News

Jenderal Dudung Dinilai sebagai Penganut Ajaran Jenderal Sudirman dan Jenderal M Yusuf

Jakarta – Pengamat Politik, Eep Saefulloh Fatah menilai, Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Dudung Abdurachman sebagai penganut ajaran Jenderal Soedirman dan Jenderal Muhammad Yusuf Amir. Selain dekat dengan rakyat, Dudung juga dianggap memiliki kepedulian akan kesejahteraan prajurit.

“Harus saya akui bahwa saya belum mengenal Jenderal Dudung secara dekat. Tapi dari yang saya lihat dan saya baca, terutama dari buku “Loper Koran jadi Jenderal”, saya mengerti jika banyak pihak punya ekspektasi besar terhadap Jenderal Dudung,” ujar Eep saat dihubungi, Sabtu (30/7/2022).

 

Ekspektasi itu antara lain, menurut Eep, Jenderal Dudung bisa memimpin AD dengan kepemimpinan berbasis empati. Jenderal Dudung menjalani karier kemiliterannya dari bawah. Ia sendiri dilahirkan dalam keluarga yang sangat bersahaja bahkan serba kekurangan. Tapi ia bisa mengalahkan tantangan-tantangan sepanjang jalan hidupnya hingga akhirnya bisa mencapai puncak karier di AD.

 

Eep mengatakan, Jenderal Dudung pun berpotensi memiliki modal empati yang sangat cukup terhadap masalah-masalah yang dihadapi prajurit, bukan cuma di level Perwira tapi juga Tamtama dan bahkan Bintara. Tak semua Jenderal punya modal empati yang cukup pada prajuritnya. Tapi Jenderal Dudung punya modal empati yang sangat besar.

 

“Publik juga berpotensi punya ekspektasi lain terhadap Jenderal Dudung: Menjadi pemimpin AD yang teguh pada prinsip-prinsip dasar keprajuritan yang diajarkan Jenderal Sudirman. Salah satu ajaran pokok Jenderal Sudirman adalah berani mengambil resiko untuk menyelamatkan rakyat,” katanya.

 

Eep sendiri mengaku dirinya mengerti jika banyak pihak melihat Jenderal Dudung punya potensi menjadi penganut dan pelanjut ajaran Jenderal Sudirman itu. Dudung dianggap punya keberanian untuk bertindak tegas sambil siap menerima segala resikonya. Dan keberaniannya itu disebut terbangun oleh keyakinannya bahwa yang Dudung bela dan selamatkan adalah kepentingan rakyat secara luas serta kepentingan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

 

“Inilah kesan umum pertama saya tentang Jenderal Dudung,” paparnya.

 

 

_*Reformasi TNI Bersisi Ganda*_

 

Pada awal Reformasi, 1998, Eep mengatakan dirinya termasuk salah seorang sparing partner diskusi dari kalangan sipil saat Pimpinan ABRI (pada saat itu) merumuskan Reformasi ABRI — sekarang menjadi Reformasi TNI. Sejak saat ikut terlibat dalam urun rembuk perumusan Reformasi ABRI itu, Eep berpendapat bahwa Reformasi TNI itu bersisi ganda: Ada sisi luar dan sisi dalamnya.

 

“Sisi luarnya adalah redefinisi posisi dan peran TNI dalam mengelola NKRI. Wujudnya adalah penghentian Dwi Fungsi ABRI serta mereposisi TNI sebagai kekuatan pertahanan yang profesional.

 

Saya sebut ini sisi luar karena memang sangat terlihat dan berkaitan dengan relasi TNI dengan semua eksponen kebangsaan di luar dirinya,” jelasnya.

 

“Sisi dalamnya adalah perbaikan kualitas sumber daya Prajurit pada semua tingkatan serta kesejahteraan segenap Prajurit TNI beserta keluarga mereka. Saya sebut ini sisi dalam karena berkaitan dengan pembenahan internal ke dalam dan seringkali tidak kelihatan,” tambah Eep.

 

Menurut Eep, pelaksanaan agenda-agenda Reformasi TNI di sisi luar itu banyak pengawasnya. Monitoringnya dilakukan oleh semua pemangku kepentingan demokrasi. Untuk agenda sisi ini, siapapun yang memimpin TNI, termasuk AD, akan berada dalam posisi di bawah lampu sorot.

 

Terawasi dan bekerja di wilayah terang benderang.

Karena itu, Pimpinan AD dan TNI akan selalu mendapat tekanan dan desakan untuk senantiasa bersetia pada agenda-agenda Reformasi TNI. Tapi, katanya, cerita tentang sisi dalam Reformasi TNI agak berbeda. Di sisi ini, Pimpinan TNI dan AD bekerja di wilayah senyap. Tidak terlalu terlihat dari luar. Hanya dirasakan oleh para Prajurit dan keluarga mereka.

 

“Tak semua pimpinan TNI, termasuk AD berhasil mengemban amanah Reformasi TNI sisi dalam ini. Benchmark yang biasanya disebut tentang Pimpinan TNI yang pandai menjaga amanah meningkatkan kesejahteraan prajurit dan keluarga mereka adalah Jenderal M Yusuf,” papar Eep.

 

“Nah, Jenderal Dudung punya modal kedekatan dengan para Prajurit AD. Sebab, Jenderal Dudung lahir dan besar di tengah kekurangan yang dirasakan oleh para Prajurit dan keluarga mereka. Karena itu sudah semestinya Jenderal Dudung dekat dengan para Prajurit,” ucapnya.

 

 

_*Jalankan Agenda Reformasi TNI*_

 

Tapi dekat saja tak cukup. Menurut Eep, Jenderal Dudung harus melangkah lebih jauh. Ia harus menjadi Pimpinan AD yang fokus, serius dan sukses menjalankan agenda Reformasi TNI sisi dalam: Meningkatkan kualitas dan profesionalisme para Prajurit dan pada saat yang sama meningkatkan kesejahteraan para Prajurit dan keluarga mereka.

 

“Saya termasuk Warga Negara yang senang melihat ada Pimpinan AD seperti Jenderal Dudung: Bersuara lantang soal kesejhteraan Prajurit dan keluarga mereka,” tuturnya.

 

Eep sendiri yakin, Jenderal Dudung bukan hanya “meminta pemerintah” untuk memperhatikan kesejahteraan prajurit tetapi juga melakukan pembenahan di dalam tubuh AD. Di dalam tubuh AD sendiri memang harus ada fokus yang lebih tegas pada agenda penyejahteraan Prajurit dan keluarga mereka itu. Dikatakan Eep, “meminta pemerintah” saja memang tak cukup. Harus ada pembenahan serius — antara lain dalam bentuk refocusing program dan realokasi anggaran (meminjam istilah yang populer di masa Pandemi kemarin) — sehingga kesejahteraan Prajurit dan keluarga mereka menjadi salah satu prioritas kerja Pimpinan AD.

 

Langkah pembenahan ini, menurut Eep setidaknya harus dilakukan dengan sejumlah tahapan berikut.

 

Pertama, pendataan dan pemetaan. Harus ada upaya serius di AD untuk mendata dan memetakan profil Prajurit dalam bentuk bigdata, yaitu data individual secara lengkap dan menyeluruh. Di dalam big data ini tersedia data-data profil tingkat kesejahteraan para Prajurit dan keluarga mereka — berkait papan, sandang dan pangan. Tanpa data dan peta yang layak, kebijakan Pimpinan AD bisa salah arah atau salah prioritas.

 

Kedua, ada perintah tegas dan terukur yang bisa berjalan hingga jenjang komando terbawah. Program penyejahteraan Prajurit harus menjadi program serius dan “berkaki”. Serius dan berkaki dalam arti bahwa program ini benar-benar menjadi program strategis AD yang dioperasinalkan dengan Perintah-Perintah KSAD kepada seluruh mata rantai komando di bawah hingga ke tingkat Koramil.

 

 

_*Kesejahteraan Prajurit*_

 

Ketiga, termonitor secara layak. Sebagai program strategis, penyejahteraan Prajurit harus memiliki instrumen monitoring yang layak. Setiap saat Pimpinan AD harus bisa memonitor setiap detail perkembangan Program ini. Karena itu, Pimpinan AD harus memiliki “dashboard” yang memuat bigdata profil Prajurit, detail program-program penyejahteraan Prajurit dan keluarga mereka, serta mendigitalisasi mekanisme evaluasinya.

 

“Jangan lupa, periode kepemimpinan dalam AD (dan TNI) tidaklah panjang. Saya yakin Jenderal Dudung sangat menyadari ini. Karena itu, tak ada pilihan selain bekerja secara sangat sigap, tegas, dan terukur. Ketiga agenda yang saya sebut di atas adalah perwujudan dari keinginan bekerja dengan cara-cara ini. Hanya dengan cara kerja seperti itu, Jenderal Dudung bisa mengefektifkan kepemimpinanannya,” jelas Eep.

 

Eep lantas berpesan kepada Jenderal Dudung untuk menjadi Pimpinan AD yang berhasil memanfaatkan peluang, melakukan pembenahan, perubahan dan melanjutkan Reformasi TNI dan AD, dengan mendayagunakan posisi dan peran sebagai Pimpinan AD.

 

“Saya termasuk warga negara yang berharap agar Jenderal Dudung melanjutkan tapak-tapak kaki Jenderal M Yusuf lalu kemudian menyempurnakannya menuju kualitas kepemimpinan Jenderal Soedirman. Itulah pesan dan harapan saya untuk Jenderal Dudung,” pungkas

 

Related Posts